BeritaKab. PelalawanPendidikan

Ketua Komnas PA Pelalawan, Erik Suhenra: Kepala Sekolah Garda Terdepan Perlindungan Anak di Sekolah

×

Ketua Komnas PA Pelalawan, Erik Suhenra: Kepala Sekolah Garda Terdepan Perlindungan Anak di Sekolah

Sebarkan artikel ini

Pangkalan Lesung (Jurnalriau.com) – Komnas Perlindungan Anak (Komnas PA) Kabupaten Pelalawan kembali menunjukkan komitmennya dalam mewujudkan lingkungan pendidikan yang aman, ramah anak, dan bebas dari kekerasan, Kamis (31/7/2025) di Aula SMPN 2 Pangkalan Lesung, Kecamatan Lesung, Kabupaten Pelalawan, Riau.

Komnas PA menggelar kegiatan sosialisasi bertajuk Penguatan Peran Kepala Sekolah sebagai Garda Terdepan Perlindungan Anak di Sekolah diikuti oleh seluruh Kepala SMP, SD dan TK se-Kecamatan Pangkalan Lesung.

Acara ini diinisiasi oleh Komnas PA Kabupaten Pelalawan dan dibuka secara resmi oleh Ketua Kelompok Kerja Kepala Sekolah (K3S) Kecamatan Pangkalan Lesung , Abdul Rojak, S.Pd, M.Pd. Turut hadir Ketua Komnas PA Pelalawan, Erik Suhenra, S.I.Kom, Tim Ahli Komnas PA Apon Hadiwijaya SE, Wakil Ketua Komnas PA Candra Prayoga, SH, MH serta Tim Media Komnas PA, Nofri Hendra.

Kepala Sekolah Adalah Garda Terdepan

Dalam sambutannya, Ketua Komnas PA Pelalawan Erik Suhenra menekankan bahwa kepala sekolah merupakan garda terdepan dalam sistem perlindungan anak di lingkungan sekolah. Ia menyampaikan bahwa kepala sekolah tidak hanya bertugas memimpin kegiatan belajar mengajar, tetapi juga wajib memastikan bahwa sekolah menjadi ruang yang aman, nyaman, dan mendukung tumbuh kembang peserta didik.

“Sekolah harus menjadi tempat yang menyenangkan dan bebas dari segala bentuk kekerasan. Kepala sekolah harus memahami hak-hak anak dan memimpin pembentukan sistem perlindungan yang kuat dan partisipatif,” ujar Erik.

Ia juga menegaskan bahwa perlindungan anak harus menjadi tanggung jawab bersama seluruh komponen sekolah guru, siswa, tenaga kependidikan, serta orang tua dan masyarakat.

“Guru juga berhak mendapat perlindungan. Karena mereka berada di garis terdepan berinteraksi langsung dengan anak-anak. Kolaborasi dengan orang tua sangat penting untuk memastikan tumbuh kembang anak tidak hanya di sekolah, tapi juga di rumah,” tambah Erik.

Dalam upaya pencegahan kekerasan dan perundungan, Erik mengungkapkan bahwa Komnas PA Pelalawan telah mendorong sekolah-sekolah untuk membentuk “Duta Anti-Bullying” dari kalangan siswa kelas 5 dan 6 di tingkat SD sebagai agen perubahan.

“Kami ingin anak-anak ikut berperan sebagai pengingat, pengawas, dan pelapor jika terjadi perundungan. Mereka bukan hanya penerima kebijakan, tapi juga pelaku aktif perlindungan,” pungkasnya.

Diskusi Interaktif: Batasan Hukum dan Kedisiplinan

Sesi diskusi yang dipandu secara terbuka mengundang banyak perhatian. Salah satu pertanyaan diajukan oleh Bustani Ilmi, S.Pd., yang mewakili kepala sekolah SD, mengenai batasan tindakan yang bisa dikategorikan sebagai pelecehan seksual antar sesama anak, baik secara verbal maupun nonverbal, serta apakah hal tersebut sudah bisa dijatuhi sanksi.

Wakil Ketua Komnas PA, Candra Prayoga SH, MH memberikan penjelasan lugas dan berbasis hukum:

“Pelecehan seksual bukan hanya tindakan fisik. Bisa berupa ucapan, candaan, ejekan seksual, hingga gestur atau tatapan yang mengandung unsur seksual. Jika menyebabkan ketidaknyamanan atau tekanan psikologis pada korban, maka itu sudah termasuk pelecehan seksual,” tegas Candra.

Ia juga menambahkan bahwa meskipun pelaku adalah sesama anak, bukan berarti tidak bisa dikenai sanksi. Namun pendekatannya adalah restoratif dan edukatif, bukan represif.

“Anak tetap dapat dibina melalui pendekatan keadilan restoratif, sesuai tingkat pelanggarannya, karena mereka masih dalam masa pembentukan karakter,” tambahnya.

Menjawab pertanyaan seputar pembuktian kasus, Candra menjelaskan; “Secara hukum, satu orang saksi yang kredibel ditambah alat bukti seperti hasil visum atau rekaman CCTV sudah cukup kuat untuk ditindaklanjuti. Oleh karena itu, kami sangat mendorong pemasangan CCTV di sekolah sebagai upaya perlindungan dan dokumentasi,” jelasnya.

Pertanyaan lain disampaikan oleh Nista, S.Pd., yang menyoroti tentang batasan penerapan kedisiplinan di sekolah, misalnya dalam hal menyita handphone siswa. Menurutnya, sering kali tindakan disipliner guru disalahartikan dan bahkan dijadikan alasan untuk melaporkan guru oleh sebagian wali murid.

“Perlu diingat bahwa tindakan seperti penyitaan barang pribadi hanya boleh dilakukan oleh pihak yang memiliki kewenangan hukum, seperti pengadilan. Namun, di sekolah, tindakan tersebut dilandasi oleh tata tertib dan aturan internal untuk membentuk kedisiplinan,” ujarnya.

Ia menambahkan, persoalan seperti ini harus dilihat secara proporsional dan tidak dijadikan alat untuk mengkriminalisasi guru.

“Kalau hal-hal kecil seperti ini sudah dipermasalahkan, bagaimana kita bisa menyelesaikan hal-hal besar? Ini soal kepercayaan terhadap sistem pendidikan,” tegasnya.

Candra juga menyampaikan bahwa sudah diterbitkan Nota Kesepahaman (MoU) antara Kemendikbud, Polri, dan Kementerian terkait, yang akan mendorong penyelesaian persoalan di sekolah secara musyawarah dan tidak langsung melalui jalur hukum.

Sementara itu, Ketua K3S Pangkalan Lesung, Abdul Rojak S.Pd, M.Pd menyampaikan apresiasi atas inisiatif ini:

“Kegiatan ini sangat relevan dan membuka wawasan kita semua. Kami berharap para kepala sekolah dapat mengimplementasikan hasil sosialisasi ini ke dalam kebijakan sekolah yang lebih berpihak pada perlindungan anak dan guru,” katanya.

Kegiatan ini menjadi bagian dari upaya berkelanjutan Komnas PA Pelalawan untuk menciptakan ekosistem pendidikan yang tidak hanya mendidik secara akademis, tetapi juga mendukung perlindungan, hak, dan kesejahteraan anak secara menyeluruh.

Tanggapan Soal Perlakuan Tak Seimbang antara Sekolah Negeri dan Swasta.

Menjelang penutupan sesi diskusi, salah satu pertanyaan yang cukup menyentuh disampaikan oleh perwakilan kepala sekolah negeri. Ia mengeluhkan bahwa dalam beberapa kasus yang terjadi di sekolah negeri, sering kali langsung mendapat sorotan dan tekanan dari publik maupun aparat, sementara kejadian serupa di sekolah swasta cenderung tidak disorot.

Selain itu, masalah seperti penyitaan handphone siswa saat pelajaran berlangsung, meskipun sudah tertuang dalam tata tertib sekolah, justru kerap dijadikan bahan pelaporan oleh sebagian wali murid, yang membawa persoalan ini keluar dari lingkungan sekolah.

Menanggapi hal tersebut, Candra Prayoga, SH, MH menjelaskan bahwa persoalan ini seharusnya dilihat secara adil dan proporsional.

“Intinya, aturan dibuat bukan untuk dilanggar. Jika handphone disita saat jam pelajaran, bukan berarti dirampas tapi diamankan dan nanti dikembalikan setelah jam sekolah. Ini adalah bagian dari upaya mendidik anak agar fokus belajar. Jika semua ini dimaknai secara bijak, tentu bisa diselesaikan di dalam sekolah melalui komunikasi. Tapi jika ada yang ingin menunjukkan bahwa dia lebih ‘kuat secara hukum’, maka masalah bisa saja dibawa ke ranah hukum,” terang Candra.

Sementara itu, Ketua Komnas PA Pelalawan, Erik Suhenra, merespon dengan menyejukkan dan memberikan semangat kepada para kepala sekolah negeri yang merasa mendapatkan perlakuan tidak adil.

“Saya memahami keresahan Bapak/Ibu semua. Memang, kita harus akui bahwa sekolah negeri kadang menjadi sorotan utama. Tapi percayalah, ini karena ekspektasi publik terhadap sekolah negeri itu sangat tinggi. Justru karena bapak dan ibuk dianggap sebagai ujung tombak pendidikan bangsa,” ujar Erik.

Ia menegaskan bahwa perbedaan perlakuan bukan berarti kelemahan, melainkan sebuah tantangan yang harus dihadapi dengan kedewasaan dan profesionalisme.

“Kalau sekolah negeri mendapat sorotan, itu berarti masyarakat menaruh perhatian besar. Tinggal bagaimana kita bersikap apakah sebagai pihak yang reaktif, atau sebagai pendidik yang tetap tenang, bijak, dan terus mengedepankan penyelesaian yang mendidik,” tambahnya.

Erik juga mengajak semua pihak untuk tidak alergi terhadap kritik, namun tetap harus berani tegas membela marwah dunia pendidikan.

“Kami dari Komnas PA siap menjadi mitra strategis. Sekolah tidak boleh dibiarkan sendiri menghadapi tekanan. Kita bangun ekosistem yang melindungi anak, tapi juga menjaga wibawa dan martabat para guru,” tutup Erik dengan penuh semangat.

“Komnas PA bukan hadir hanya saat ada kasus. Kami hadir lebih awal untuk mendampingi, mencegah, dan membangun budaya perlindungan anak di sekolah. Semua pihak harus terlibat,” tutup Erik Suhenra.

Dengan berakhirnya diskusi ini, kegiatan sosialisasi pun ditutup dengan harapan bahwa para kepala sekolah yang hadir akan membawa semangat baru dalam menerapkan nilai-nilai perlindungan anak serta membangun kolaborasi yang kuat antara sekolah, keluarga, dan masyarakat.***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *